Mari tunjukkan bahwa kita adalah ummat terbaik.

Wednesday, 27 April 2011

77 Cabang Iman

10:18 Posted by Izzatul Islam FMIPA UI No comments


Ibarat sebuah pohon, iman itu memiliki cabang-cabang. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda: “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." [HR. Bukhari, Muslim]
Diantara yang bisa kita pahami dari hadits tersebut adalah, bahwasanya cabang-cabang iman itu amat banyak. Angka-angka dalam hadits tersebut bisa kita pahami - tentu saja - secara literal, namun bisa juga kita pahami dengan makna "banyak". Wallahu a'lam. Hal lain yang bisa kita pahami dari hadits diatas adalah, bahwa cabang-cabang iman itu bertingkat-tingkat. Ada yang tinggi dan ada yang rendah.
Imam Al-Baihaqi rahimahullah, salah seorang terkemuka, mendaftar 77 cabang iman. Anda tinggal mencocokkan apakah semuanya ada dalam diri Anda. Ataukah masih banyak yang belum melekat pada diri Anda. Mari kita lihat apa sajakah ketujuh puluh tujuh cabang tersebut.
  1. Iman kepada Allah Azza wa Jalla
  2. Iman kepada para rasul Allah seluruhnya
  3. Iman kepada para malaikat
  4. Iman kepada Al-Qur’an dan segenap kitab suci yang telah diturunkan sebelumnya
  5. Iman bahwa qadar – yang baik ataupun yang buruk – adalah berasal dari Allah
  6. Iman kepada Hari Akhir
  7. Iman kepada Hari Berbangkit sesudah mati
  8. Iman kepada Hari Dikumpulkannya Manusia sesudah mereka dibangkitkan dari kubur
  9. Iman bahwa tempat kembalinya mukmin adalah Surga, dan bahwa tempat kembali orang kafir adalah Neraka
  10. Iman kepada wajibnya mencintai Allah
  11. Iman kepada wajibnya takut kepada Allah
  12. Iman kepada wajibnya berharap kepada Allah
  13. Iman kepada wajibnya tawakkal kepada Allah
  14. Iman kepada wajibnya mencintai Nabi saw
  15. Iman kepada wajibnya mengagungkan dan memuliakan Nabi saw
  16. Cinta kepada din, sehingga ia lebih suka terbebas dari Neraka daripada kafir
  17. Menuntut ilmu, yakni ilmu syar’i
  18. Menyebarkan ilmu, berdasarkan firman Allah : “Agar engkau menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya”
  19. Mengagungkan Al-Qur’an, dengan cara mempelajari dan mengajarkannya, menjaga hukum-hukumnya, mengetahui halal haramnya, memuliakan para ahli dan huffazh-nya, serta takut pada ancaman-ancamannya
  20. Thaharah
  21. Sholat lima waktu
  22. Zakat
  23. Puasa
  24. I’tikaf
  25. Haji
  26. Jihad
  27. Menyusun kekuatan fii sabilillah
  28. Tegar di hadapan musuh, tidak lari dari medan peperangan
  29. Menunaikan khumus
  30. Membebaskan budak dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
  31. Menunaikan kaffarat wajib : kaffarat pembunuhan, kaffarat zhihar, kaffarat sumpah, kaffarat bersetubuh di bulan Ramadhan ; demikian pula fidyah
  32. Menepati akad
  33. Mensyukuri nikmat Allah
  34. Menjaga lisan
  35. Menunaikan amanah
  36. Tidak melakukan pembunuhan dan kejahatan terhadap jiwa manusia
  37. Menjaga kemaluan dan kehormatan diri
  38. Menjaga diri dari mengambil harta orang lain secara bathil
  39. Menjauhi makanan dan minuman yang haram, serta bersikap wara’ dalam masalah tersebut
  40. Menjauhi pakaian, perhiasan, dan perabotan yang diharamkan oleh Allah
  41. Menjauhi permainan dan hal-hal sia-sia yang bertentangan dengan syariat Islam
  42. Sederhana dalam penghidupan (nafkah) dan menjauhi harta yang tidak halal
  43. Tidak benci, iri, dan dengki
  44. Tidak menyakiti atau mengganggu manusia
  45. Ikhlas dalam beramal karena Allah semata, dan tidak riya’
  46. Senang dan bahagia dengan kebaikan, sedih dan menyesal dengan keburukan
  47. Segera bertaubat ketika berbuat dosa
  48. Berkurban : hadyu, idul adh-ha, aqiqah
  49. Menaati ulul amri
  50. Berpegang teguh pada jamaah
  51. Menghukumi diantara manusia dengan adil
  52. Amar ma’ruf nahi munkar
  53. Tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa
  54. Malu
  55. Berbakti kepada kedua orang tua
  56. Menyambung kekerabatan (silaturrahim)
  57. Berakhlaq mulia
  58. Berlaku ihsan kepada para budak
  59. Budak yang menunaikan kewajibannya terhadap majikannya
  60. Menunaikan kewajiban terhadap anak dan isteri
  61. Mendekatkan diri kepada ahli din, mencintai mereka, dan menyebarkan salam diantara mereka
  62. Menjawab salam
  63. Mengunjungi orang yang sakit
  64. Mensholati mayit yang beragama Islam
  65. Mendoakan orang yang bersin
  66. Menjauhkan diri dari orang-orang kafir dan para pembuat kerusakan, serta bersikap tegas terhadap mereka
  67. Memuliakan tetangga
  68. Memuliakan tamu
  69. Menutupi kesalahan (dosa) orang lain
  70. Sabar terhadap musibah ataupun kelezatan dan kesenangan
  71. Zuhud dan tidak panjang angan-angan
  72. Ghirah dan Kelemahlembutan
  73. Berpaling dari perkara yang sia-sia
  74. Berbuat yang terbaik
  75. Menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua
  76. Mendamaikan yang bersengketa
  77. Mencintai sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga mencintainya untuk dirinya sendiri, dan membenci sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia juga membencinya untuk dirinya sendiri

Wednesday, 6 April 2011

Membiasakan Salam, Memperkuat Barisan

14:23 Posted by Izzatul Islam FMIPA UI No comments


Kebiasaan yang selalu dicontohkan Rasulullah SAW adalah memulai salam dan selalu menjawab salam para sahabat. Bahkan suatu hari Rasulullah SAW berjalan kemudian bertemu anak kecil. Lantas beliau mengucapkan salam kepada anak kecil itu (HR. Muslim).
Mengucapkan salam dan menjawabnya merupakan adab kepada saudara sesama Muslim. Adab ini begitu penting sebab ia menjadi sebab meningkatkan rasa persaudaraan dan menentramkan hati di antara mereka.
Berkaitan dengan adab bermu’amalah dengan sesamanya, Rasulullah SAW bersabda: “Hak seorang Muslim kepada saudara Muslim lainnya ada lima yaitu; menjawab salam, mendo’akan ketika bersin, memenuhi undangannya, menjenguk ketika sakit dan mengantarkan jenazah.” (HR. Muslim).
Syeikh Nawawi bin Umar al-Bantani menegaskan, bahwa menyebarkan salam di antara sesama saudara Muslim melanggengkan rasa cinta di antara mereka dan merupakan penghormatan terhadap agama.
Makanya, jika kita memasuki suatu majelis atau bertemu sejumlah rombongan saudara Muslim, disunnahkan untuk memulai mengucapkan salam. Hikmahnya, agar tetap ada rasa persaudaraan dan mereduksi rasa permusuhan. Rasulullah SAW mengingatkan: “Ucapan salam itu sebelum (memulai) pembicaraan.” (HR. Tirmidzi).
Terkadang pada saat kita di dalam suatu majelis atau rombongan orang banyak, terjadi interaksi komunikasi atau perdebatan. Jika tidak disadari oleh rasa ukhuwah Islamiyah, setan mudah mengadu-domba. Dalam teori psikologi massa, pada saat seseorang berada dalam kelompok massa, nalar bisa berkurang. Dan orang mudah disulut rasa dendam dan marahnya.
Di sinilah pentingnya etika mengucapkan salam sebagaimana di ajarkan oleh Rasulullah SAW. Kita disunnahkan mengucapkan salam kepada saudara Muslim baik berjumlah satu atau sekumpulan Muslim banyak, agar persaudaraan Islamnya tetap terjaga. Tidak direduksi oleh tendensi-tendensi ego pribadi.
Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, ketika seorang Muslim mengendarai kendaraan disunnahkan memulai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan dan jika berjalan ia disunnahkan mengucapkan kepada saudaranya yang sedang duduk, sedangkan jika dua rombongan bertemu, rombongan yang jumlahnya kecil disunnahkan memulainya (HR. Muslim).
Di samping memperkuat rasa ke-Islamannya, salam merupakan terapi untuk menghilangkan sifat sombong, melatih diri untuk bersikap tawadlu’. Menurut Syeikh Nawawi al-Bantani, inti sikap tawadlu’ adalah memulai salam.
Berdasarkan hal itu maka, tidak keharusan seorang guru menunggu ucapaan salam muridnya, atau seorang pemimpin menanti bawahannya memulai mengucapkan salam. Jika mereka bertemua, seorang guru hendaknya tidak segan untuk memulai mengucapkan salam. Begitu pula seorang pemimpin. Rasulullah SAW telah memberi contoh hal tersebut, ia mengucapkan salam kepada seorang anak kecil.
Memulai mengucapkan salam adalah sunnah sedangkan menjawabnya adalah wajib. Budaya salam ini merupakan budaya sunnah yang melahirkan nilai-nilai hikmah, menguatkan rasa ukhuwah sesama Muslim dan melatih diri untuk beriskap tawadlu’.
Oleh sebab itu, maka tak sembarang salam diucapkan. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dalam al-Ghunyah menjelaskan aturan salam tersebut. Bahwa memulai mengucapkan salam adalah sunnah, kecuali kepada orang musyirk dan kafir. Juga salam kepada wanita yang bukan muhirm dimakruhkan dikhawatirkan timbul fitnah.
Salam adalah ungkapan do’a kepada sesamanya, makanya tidak diperkenankan diucapkan kepada orang kafir. Salam itu sebuah konsep yang khusus berlaku untuk sesama Muslim. Rasulullah SAW melarang mengucapkan salam kepada non-Muslim “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani,” kata Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Di tempat yang lain beliau memberi arahan: “Apabila ada Ahlul Kitab mengucapkan salam kepadamu maka, jawablah dengan; “alaykum”. (HR. Muslim).
Jawaban ‘alaykum’ saja memberi arti bahwa, kita tidak mendoakan kepadanya. Padahal bila sesama Muslim yang mengucapkan salam, diutamakan kita menjawab dengan tambahan doa, misalnya wa’alaykum salam ‘warahmatullahi wabarakatuh’, atau cukup dengan ‘wa’alaykum salam warahmah’. Bahkan kita bisa menambah dengan kalimat doa lainnya, misalnya, wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh wamaghfiratuh’.
Hal ini memberi petunjuk, bahwa memang salam itu adalah konsep Islam yang bertujuan menguatkan rasa persaudaraan sesama Muslim. Maka biasakanlah salam kepada saudara sesama Muslim di manapun. Jika kita tidak mengenal seseorang akan tetapi tahu bahwa dia Muslim, maka hendaknya kita ucapkan salam kepadanya. Maka, mari kita mulai memperkuat barisan umat Islam (shufuful Muslim) denga menebarkan salam, agar kita saling mencintai dan memiliki solidaritas sesamanya.*/Kholili Hasib

sumber: hidayatullah.com

Sunday, 3 April 2011

SHOOT! :: Share Only One Thousand

17:36 Posted by Izzatul Islam FMIPA UI No comments

Ummah Center LD MII 2 Dekade
Powerfully Present

Grand Launching
SHOOT :: Share Only One Thousand

"“one man one thousand.
cuma seribu rupiah setiap bulan,
untuk semangat belajar 'anak jalanan'
di TPA 'Izzatul Islam...”

Kapan?
9 april 2011
09.30-00 WIB
di Gedung B 101 FMIPA UI

Ada apa di Grand Launching-nya?
- Bioskop MII: "Emak pengen naik haji"
- Bakso Party
- Togather with 'Anak Jalanan'

Contact Us:
Basith (085731719877)
Novi (085811604174)

dateng ya temaaans
: )

(Our Style!) Melurus-rapatkan Shaf

17:33 Posted by Izzatul Islam FMIPA UI No comments
Melurus-rapatkan Shaf, 'Bila Budaya Berjamaah menjadi Ruh dalam Kehidupan Kita Sehari-hari'



Kadang kita temui dalam shalat berjamah, seorang imam langsung saja bertakbir tanpa terlebih dulu memperhatikan barisan di belakangnya, tak peduli apakah barisan makmumnya masih acak-acakan atau tidak.
Atau juga banyak kita temukan, kaum Muslim shalat berjamaah namun ia tak betul-betul mengerti tata-cara shalat yang benar. Hatta, urusan merapatkan dan meluruskan shaf. Fenomena tersebut merupakan bukti bahwa sebagian kaum Muslimin masih menganggap urusan merapatkan dan meluruskan shaf sebagai hal yang sepele dan hanya membuang-buang waktu saja. Akibatnya, masalah ini kurang mendapat perhatian serius.

Sikap seperti ini tentu saja keliru. Karena meluruskan dan merapatkan shaf merupakan bagian dari sempurnanya shalat berjamaah. Sebelum melakukan shalat berjamaah,  Rasulullah selalu memperhatikan jamaahnya. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang artinya, "Rasulullah, apabila telah berdiri di tempatnya untuk bershalat, tidaklah terus bertakbir, sebelum melihat ke kanan dan ke kiri menyuruh manusia menyejajarkan bahu, seraya bersabda, 'Janganlah kamu maju mundur, yang menyebabkan maju mundurnya jiwa-jiwa kamu'." (Riwayat. Ahmad).

Bahkan, Rasulullah pernah menugaskan 'Ali bin Abi Thalib membantunya meluruskan dan merapatkan shaf shalat berjamaah. Begitu juga khalifah 'Umar bin Khaththab, jika bertindak selaku imam, beliau belum bertakbir sehingga datang orang yang telah ditugaskan untuk membetulkan shaf, melaporkan bahwa semua shaf telah teratur. Sesudah itu, barulah beliau bertakbir.

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, "Luruskanlah shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat."(HR Muslim).

Ada juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Luruskan shaf sebaik-baik mungkin dalam shalat'." (Riwayat Ahmad)

Tak Lurus, Penyebab Perselisihan Hati
Dari Abu Mas'ud , ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Luruskanlah (shaf kalian) dan janganlah bercerai berai sehingga akan tercerai berai hati kalian'."(Riwayat Muslim).

Hadits ini memperlihatkan larangan Rasulullah agar umat Islam  tidak bercerai berai. Islam akan kuat di atas landasan berjamaah. Dan Islam tidak akan mudah dicerai-berai, diadu domba antara golongan yang satu dengan yang lain, bila budaya berjamaah menjadi ruh dalam kehidupan kita sehari-hari. Pelajaran meluruskan shaf dalam berjamaah salah satu contoh yang dilakukan Nabi untuk menanamkan sikap disiplin dan ukhuwah Islamiyah para sahabatnya.

Sebuah pelaksanaan shalat berjamaah yang dilaksanakan dengan baik akan memberi atsar (pengaruh) yang baik bagi pelakunya dan akan memperkuat ukhuwah Islamiyah di antara kita. Shalat berjamaah juga dapat membentuk pribadi Muslim yang disiplin, penuh tanggung jawab, dan mampu menjalankan nilai-nilai luhur di tengah masyarakatnya.

Dalam di atas hadits Nabi berpesan bahwa shaf yang tidak rapi dan rapat akan menyebabkan terjadinya perselisihan dan perpecahan yang berujung kepada kehancuran, kekalahan, hilangnya kekuatan dan kemuliaan. Bukankah musuh di sekitar kita telah menjadikan kita sebagai santapan yang diperebutkan, sebagaimana makanan yang dijadikan rebutan orang banyak?

Cara Meluruskan Shaf
Anas bin Malik menerangkan cara meluruskan dan merapatkan shaf shalat berjamaah pada masa kehidupan Nabi, ia berkata, "Pada waktu itu masing-masing di antara kami merekatkan bahunya dengan bahu saudaranya, dan telapak kakinya dengan telapak kaki saudaranya." (Riwayat Al-Bukhari).

Dalam riwayat lain, ia berkata,
"Sungguh aku melihat setiap orang di antara kami melekatkan bahunya dengan bahu saudaranya dan melekatkan telapak kakinya dengan telapak kaki saudaranya. Jika kamu terapkan hal seperti itu saat ini,  pasti setiap kalian akan lari seperti larinya (keledai) liar."


Berdasarkan keterangan hadits di atas, dapat dipahami bahwa cara meluruskan dan merapatkan shaf adalah sebagai berikut:
•    Merapatkan bahu dengan bahu, telapak kaki dengan telapak kaki (bagian tumit), lutut dengan lutut, dan mata kaki dengan mata kaki (saudaranya yang ada di sampingnya).
•    Menjaga agar bahu, leher, dan dada tetap lurus (dengan bahu, leher dan dada saudaranya), yaitu tidak lebih maju atau lebih mundur dari yang lainnya.

Hikmah
Dari pelajaran di atas bisa kita ambil hikmahnya bahwa merapatkan dan meluruskan shaf merupakan perbuatan yang selalu diperintahkan Rasulullah dan terus dilakukan oleh para sahabat. Rasulullah SAW melakukan hal ini untuk menumbuhkan kerapian, kedisiplinan, dan kekhusyukan, baik dalam shalat berjamaah, maupun dalam kehidupan keseharian. Rasulullah selalu menekankan kepada para sahabat agar selalu memperhatikan cara-cara hidup berjamaah. Salah satunya caranya, saling meluruskan barisan dalam shalat.

Dalam satu riwayat disebutkan, "Ada tiga orang yang diridhai Allah, yaitu seorang yang pada tengah malam bangun dan shalat, suatu kaum (jamaah) yang berbaris untuk shalat, dan suatu kaum yang berbaris untuk berperang ( fisabililah) ".(HR Abu Yu'la).

Imam Qatadah menjelaskan bahwa ada hubungan yang erat antara kewajiban merapikan barisan ketika shalat dengan kewajiban merapikan barisan dalam peperangan. Beliau juga menyebutkan permisalan barisan itu seperti bangunan kokoh (bun-yanun marshush) sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash-Ahaff: 4)

Akhirul kalam, marilah kita berlomba-lomba menaati perintah merapatkan dan meluruskan shaf. Mulai hari ini juga. Semoga dengan demikian Allah mengokohkan umat Islam sebagaimana bangunan yang kokoh

sumber: hidayatullah.com